Mungkin
itulah satu kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupanku saat ini. Bukankah
memang seperti itulah hidup ini? Semua yang telah terjadi di dunia ini adalah
takdir Tuhan. Bahwa kenapa detik ini aku masih bisa bernafas, itu juga karena
takdir. Bukan begitu?
Ya,
begitulah takdir. Takdir yang selama ini aku rutuki. Takdir yang pernah aku
sumpahi dengan jejalan kata-kata yang berasal dari neraka. Takdir yang
menyeretku pada berbagai musibah dan bencana. Takdir yang menjadikan aku orang
picik hingga berpikir bahwa Tuhan menyayangi semua makhluk-Nya, kecuali aku.
Takdir yang menguatkan sudut pandangku bahwa Tuhan sengaja mengirimkan semua
ciptaan-Nya untuk memusuhi dan menikamku hidup-hidup.
Aku
terlalu angkuh untuk mengatakan bahwa Tuhan itu adil. Mana ada adil yang
menyusahkan? Bagiku, adil itu simbiosis mutualisme. Aku untung. Kau untung. Dia
untung. Kalian untung. Mereka untung. Sementara yang terjadi adalah aku selalu
menjadi pihak yang dirugikan. Jadi, Tuhan tidak adil, kan?
Tidak
pernah ada keadilan untukku. Mungkin seperti itulah sudut pandangku, dulu. Keangkuhan berhasil
membusukkan hatiku. Namun sebuah kedewasaan telah mengajarkanku banyak hal. Dia
mengajariku untuk memahami makna takdir yang sesungguhnya.
Ketika
aku sedang merangkak, aku diajak untuk belajar. Ketika aku telah mampu berdiri,
aku diperintahkan untuk melihat. Ketika aku merasa putus asa, aku dipaksa untuk
tetap bertahan. Ketika aku gagal, aku diajarkan untuk menerima. Ketika aku
terjatuh, aku dirangkul untuk bangkit. Ketika aku berhasil, aku diajarkan untuk
rendah hati. Ketika aku telah sampai di puncak, aku diperintahkan untuk memberi.
Ketika
aku menemukan pengkhianat, aku baru saja disadarkan. Ketika aku bertemu seorang
sahabat, aku diminta untuk menjaganya. Ketika aku mendapatkan pengucilan, Tuhan
akan membenarkan apa yang salah. Ketika aku sendirian, Tuhan selalu bersamaku.
Ketika aku dihadapkan pada sebuah pilihan, aku dikenalkan dengan apa itu
prioritas.
Saat
ini aku mengerti, hanya ada dua kunci dari semua penyelesaian takdir hidup yang
tidak pernah adil. Ikhlas dan bersyukur.
Sesederhana itu? Siapa bilang ikhlas dan bersyukur itu sederhana?
Aku
terlahir sebagai seorang lakon yang menjalani sebuah kehidupan drama yang
diberikan Tuhan sebagai sang sutradara. Aku terlahir sebagai seseorang yang
akan membawa pengaruh bagi dunia. Atau paling tidak, aku akan menjadi pemeran
utama bagi dramaku sendiri. Lalu aku akan menjadi figuran yang akan melengkapi
keindahan sebuah drama manusia lainnya. Dan tanpa pernah aku sadari, ternyata
aku telah memberikan keindahan bagi orang-orang di sekelilingku—ini baru
sederhana.
Percaya,
bahwa Tuhan itu baik. Memahami, bahwa Tuhan hanya memberikan apa yang kita
butuhkan, bukan yang kita inginkan. Menyadari, bahwa Tuhan begitu menyayangi
hamba-Nya. Dia telah menyiapkan rencana yang indah untukku, untuk kita semua.
Hidup
memang tidak akan pernah adil bagimu. Dunia jauh lebih tidak adil lagi. Tapi
setidaknya, ada Tuhan yang Maha adil. Dia memberikanmu keindahan pada saat yang
tepat. Dan takdir telah membawaku sampai di tempat ini. Di tempat dimana kita
bertemu.
Tuhan
mempertemukan kau dan aku disini. Untuk selalu bersama. Selalu menjaga. Saling
berbagi. Saling berpegangan di bawah deraan hujan untuk menyambut pelangi.