Dia yang Tak Termiliki


Aku tidak tahu apa namanya, yang aku tahu aku selalu tertarik untuk memperhatikan setiap tingkahnya. Di kelas—juga di sekolah, dia adalah idola. Beberapa kali secara tidak sengaja aku mendengar teman-temanku membicarakannya. Oh, ternyata bukan hanya aku yang diam-diam mengaguminya.
Dia adalah bintang kelas berparas tampan. Prestasinya di sekolah membuatku berdecak kagum padanya. Tak sedikit gadis yang secara terang-terangan menyatakan cinta padanya. Sikapnya berwibawa namun tetap supel dan ramah pada teman-temannya. Gaya jalannya begitu khas.
Dia adalah teman sekelasku, satu-satunya laki-laki yang tatapannya paling kuhindari. Aku takut tatapannya akan semakin merunyamkan hatiku. Aku takut dia semakin membuatku gila. Aku takut terluka karena dia berada terlalu “jauh” dariku. Aku takut cintaku tak mendapat sambutan darinya. Aku takut…
Dia adalah lelaki yang belakangan ini mengacaukan tidurku. Tiba-tiba dia hadir dalam setiap khayalku. Sifat rendah diri di dalam diriku telah mengurungkan segala niatku untuk mendekatinya. Bahkan untuk sekedar menyapa saja aku tak berani.
Inilah pertama kalinya aku malu mengakui perasaanku sendiri. Aku malu untuk menyebut ini cinta. Ya, kupikir semua yang kurasakan ini hanya cinta monyet biasa. Cinta main-main. Maka dari itu, aku tidak menghiraukannya, meski tetap saja dia telah mengacak-acak perasaanku.
Setiap hari aku bertemu dengannya di sekolah. Dia duduk di pojok kelas bersama tiga orang sahabatnya. Sedangkan aku, duduk di meja paling depan—tepat di sebelah dinding. Diam-diam, aku menjadi suka menoleh ke belakang, hanya untuk bisa menangkap wajahnya dari ekor mataku—sedang apa dia. Diam-diam, aku memperhatikan setiap gerak tangannya yang mengukir kapur di papan tulis saat menjawab soal. Diam-diam, aku suka ketika dia sedang berceloteh bersama sahabat-sahabatnya.
Hampir satu tahun berlalu. Beberapa bulan lagi, kami akan segera naik kelas. Aku sendiri tak tahu apa aku masih bisa sekelas dengannya. Satu kenyataan yang sama sekali belum siap untuk kudengar, yaitu aku tidak satu kelas lagi dengannya. Aku masih ingin diam-diam menoleh ke arah tempat duduknya. Aku masih ingin merasakan ada dia bersamaku setiap hari—di kelas, meski tanpa bertegur sapa. Bahkan aku siap jika harus dipergoki temanku ketika sedang curi-curi pandang kepadanya. Tak apa bagiku jika mata aku dan dia bertaut. Tak apa jika lama-lama tatapannya bisa menghancurkan perasaanku sendiri. Sungguh, tak apa…
Ouch! Aku melupakan satu kenyataan yang lebih pahit dan lebih melukai. Ternyata dia mencintai orang lain. Dia mencintai seorang perempuan yang bukan aku. Dia mencintai temanku sendiri. Aku sering merutuki kisah cintaku yang payah ini. Aku tahu, aku sama sekali tak berhak untuk melarangmu mencintai siapapun. Tapi aku tidak pernah tahu, rasa patah hati akan sesakit ini.
Tiga tahun berlalu. Kini aku sadar, aku merindukannya.


Jadi Mahasiswa Nih!



Udah akhir tahun dan blog ini baru terjamah lagi setelah sekian lama. Well, gue ngerasa sedih banget karena beberapa bulan ini nggak bisa aktif di blog karena ada something wrong sama blognya. Karena sekarang blog gue udah bisa sign in, gue akan melampiaskan semua kerinduan gue pada dunia tulis-menulis ini.
Karena waktu terakhir gue ngeblog adalah waktu dimana gue lagi sibuk-sibuknya mau masuk kuliah, jadi mungkin ada baiknya sekarang gue menceritakan gimana kesibukan gue di kampus beberapa bulan ini. Ciye, udah jadi mahasiswa nih…
Gue mulai ceritanya dari ospek aja ya. Waktu itu, gue galau banget. Satu sisi, gue punya kepentingan lain yang bikin gue nggak bisa ikut ospek hari pertama. Sementara, gue nggak tau harus minta izin ke siapa. Fyi aja, sebenernya gue harus bolos ospek itu karena gue harus ikut tes kesehatan dan wawancara USM STAN (dan gue nggak punya hoki untuk lulus kesana). Akhirnya, setelah menemukan solusinya, gue bisa ikut tes dengan tenang. Sementara temen-temen lagi ngeluh karena ospeknya ngebosenin, gue justru asyik ngecengin cowok-cowok yang juga ikutan tes yang jadwalnya samaan sama gue. Ya, jangan anggap gue kegenitan apa gimana ya. Ini bener-bener cuma lucu-lucuan.
Di hari kedua ospek, gue sangat antusias. Karena itu adalah yang pertama bagi gue. Dan bener aja, ngebosenin! Tapi nggak ngebosenin ketika gue ketemu sama kakak tingkat berambut gondrong (rambutnya yang bikin gue meleleh, dan karena rambutnya juga sekarang gue jadi suka sama cowok gondrong-_-) yang tiba-tiba aja mengalihkan perhatian gue. Asal tau aja, si kakak adalah kakak tingkat gue yang ada di kampus Palembang. Awalnya gue seneng karena saat itu gue juga termasuk mahasiswa kampus Palembang. Gue ngerasa bakal punya banyak kesempatan untuk ngecengin kakak itu.
Tapi gue harus kecewa karena ternyata permohonan pindah kampus gue disetujui dan akhirnya gue harus pindah ke kampus Indralaya. Ah! Udah kampusnya jauh, nggak bisa ketemu si kakak lagi! Ngebetein!
Gue udah bolos satu minggu dari perkuliahan di Indralaya dan gue sangat nggak nyaman dan suasananya. Ketika masuk hari pertama kuliah di Indralaya, gue ngeliat temen-temen yang lain udah akrab sama temen-temen yang lain. Sementara gue? Sekitar satu bulan lebih gue menjalani perkuliahan disana tanpa temen yang bisa gue anggap temen. Bukan apa-apa, gue belum bisa bersosialisasi dengan baik.
Untuk mengatasi salah tingkahnya gue di kelas, gue cuma harus fokus sama materi yang dikasih dosen. Selesai kuliah, gue buru-buru ketemu Winda dan melakukan semuanya berdua. Gue seolah nggak punya waktu untuk sekedar haha-hihi sama temen-temen di kelas. Tapi karena hal itu, gue jadi rajin ngerjain tugas. Secara nggak sadar, gue menyibukkan diri dengan menikmati dunia baru gue sebagai anak kuliahan dengan ngerjain tugas tepat waktu. Siang di kasih tugas, malemnya gue udah ngerjain dan selesai. Mantep kan?!
Tapi, setelah UTS gue mulai mencoba memilih temen yang tepat. Serem ya, kesannya gue pilih-pilih temen. Well, gue nggak perlu ngejelasin kenapa, tapi intinya gue emang mau pilih-pilih temen, tentu aja dalam arti yang positif.
Mungkin karena waktu itu juga lagi sibuk-sibuknya mau inagurasi, jadi mulai cari temen ngobrol yang pas buat sharing tentang inagurasi. Dari situ, gue bisa nemuin satu-dua orang yang mungkin bisa gue jadiin temen. Karena beberapa temen gue juga sempet nginep di rumah, jadi kita bisa sedikit mengenal satu sama lain. Dan akhirnya, gue mulai bisa keluar dari kesulitan gue bersosialisasi.
Semakin kesini, gue udah bisa nyaman sama temen-temen di kelas gue. Meskipun sosialisasi gue sama temen-temen yang beda kelas nggak begitu baik, ya paling nggak di kelas udah ada perkembangan.
Sementara dalam hal belajar, gue ngerasa mengalami penurunan. Entah ini faktor udah punya temen apa karena pergantian dosen, gue mendadak males belajar. Dosen di kloter kedua ini rada males ngasih tugas soalnya, jarang masuk kelas pula. Jadi, nggak ada harapan sama sekali buat gue yang kalo belajar harus dipaksa ini.
Dan sampe sekarang, gue belum nemuin satu cowok yang bisa dijadiin kecengan. Belum ada yang mengalihkan perhatian gue lagi setelah kakak tingkat berambut gondrong yang ada di kampus Palembang itu. Huft.
Mungkin itu dulu yang bisa gue bagi sama kalian. Entah ada ngaruhnya apa nggak sama hidup kalian, tapi terima kasih karena udah mau nyisihin waktunya untuk baca postingan gue kali ini. Besok-besok mungkin gue akan bercerita lebih detail dan lebih seru tentang kehidupan gue sebagai mahasiswa. Bye!