#2 Orang Berhati Hangat

“Kamu sering kesini, ya?” tanyaku basa-basi, coba mencari obrolan.
“Kalau dibanding kamu, ya sering.”
“Ah, hehehe.”

Kemudian hening.

Oke, obrolan selesai.

Aku mengaku, aku sangat payah soal ini. Entah mengapa, rasanya aku sulit sekali menciptakan obrolan lebih dari lima menit. Bahkan, yang baru saja keluar dari mulutku itu bukan terdengar seperti obrolan. Aku sering mengumpat diri sendiri karena ‘penyakit’ ini.

Tak lama, Gani meringis. “Serius amat, sih. Hehehe. Ya, kalau lagi suntuk di rumah, suka tiba-tiba pengen kesini.”
“Dari kantor?” lanjutnya.

Setahuku, Gani lebih tua tiga tahun dariku, tapi pembawaan dan kepribadiannya seperti dua tahun lebih muda dariku. Kalau tidak salah, saat ini  dia bekerja di sebuah perusahaan Advertising. Sebatas itu saja informasi yang pernah aku curi dengar tentangnya, jadi untuk sementara jangan bertanya lebih padaku.

“Hehehe,” aku garuk-garuk kepala, “Iya, tadi di jalan ketemu kakek-nenek, terus disuruh mampir. Emang baru kali ini, sih, main-main kesini. Nyaman juga, pantes kamu betah.”

Begitu saja kami berdua bertukar cerita. Topik utamanya tentu saja si empunya rumah. Tentang Kakek Suryo dan keluarganya yang sangat terbuka pada siapapun tamu dan tetangga yang datang. Tentang kehangatan pribadi keduanya yang entah bagaimana cepat meradar ke hati kami.

“Hayo, lagi ngomongi apa?” Kakek Suryo datang dari arah tangga dan menuju sofa yang kami duduki, “Maaf, ya, tamunya jadi ditinggal-tinggal begini.”

“Ini, nih, Alin dari tadi muji kakek-nenek terus,” jawab Gani sumringah, “Padahal Saya, kan, mau juga dipuji, ya, Kek?” lanjutnya seraya tertawa.

“Hehe iya, Saya salut sama kakek-nenek, udah berumur tapi masih suka berinteraksi dengan sekeliling. TOP deh!” kataku seraya mengacungi jempol, “Saya sering-sering main kemari boleh, ya, Kek?”

Semakin umur bertambah, semakin canggung rasanya untuk keluar rumah dan berinteraksi dengan tetangga-tetangga. Padatnya aktivitas menjadi alasan paling klise-tapi-ampuh untuk absen dari acara-acara silaturahmi antartetangga. Tapi saat ini sepertinya aku punya alasan untuk tidak absen lagi.

“Tentu saja, boleh. Masa nggak? Hahaha. Justru bagus, biar rumah Kakek tambah rame,” jawab Kakek Suryo terkikik.

Tak lama berselang, aku pamit pulang. Hari sudah gelap dan aku bahkan belum pulang ke rumah, terlalu asyik mengobrol di rumah Kakek Suryo.

“Saya pulang juga, deh, kalau gitu,” kata Gani menyusul bangkit dari sofa. “Kakek-nenek istirahat, ya. Jangan lupa dihabisin bolunya. Kalau mau lagi, bilang aja sama Saya nanti Saya minta Mama buatin lagi spesial untuk kakek-nenek,” ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata dan menepuk dada pelan.

Aku merasa Gani ada kemiripan dengan Kakek Suryo. Dari kesan yang aku dapat hari ini terhadapnya, dia memiliki kepribadian yang tak kalah hangat. Menyenangkan sekali rasanya bertemu dengan orang-orang berhati hangat, jadi ingin selalu dekat.

“Padahal kita rumahnya sebelahan, tetanggaan, tapi nggak pernah ngobrol begini rasanya,” celetuk Gani di jalan saat aku hampir tiba di depan rumahku.

“Dan belum tentu akan bisa ngobrol begini kalau nggak ketemu di rumah Kakek Suryo. Hahaha,” timpalku.

“Benar juga, ya. Hahaha.” Kami berdua tertawa kecil. “Ya udah, masuk, gih. Lain kali, jangan canggung lagi, ya,” ujar Gani sambil tersenyum.

Jalan Kaki ke TSB demi Duit Delapan Ribu

Senin, 15 Desember 2014
Semalem kita udah sepakat untuk kumpul di gerbang samping Unpad, yang di samping Masjid itu, loh. Aku lupa detilnya, pokoknya hari itu kita ngaret dari waktu yang udah dijanjiin. Mana kita belum ada yang sarapan. Padahal kita hari ini mau ke tempat yang seru banget! Iya, ke Trans Studio Bandung! Kita sangat-sangat antusias banget untuk destinasi yang satu ini. Berhubung laper, jadi kita nyiapin tenaga dulu dan duduk di salah kaki lima yang ada di sekitaran Unpad untuk makan bubur ayam.
Well, sambil sarapan, kita atur strategi gimana untuk pergi ke TSB-nya. Kalau nggak salah, dari website angkot itu kita dapet info kalau kita butuh naik angkot dua-tiga kali untuk sampai ke TSB. Itung sendiri aja berapa ongkos yang mesti dikeluarin. Nah, aku lupa siapa mulai, pokoknya tercetuslah ide untuk, “Ya udah, kita jalan kaki aja ke TSB-nya, biar hemat ongkos!” Selain itu, kita agak ngeri naik angkot karena takut salah rute atau diturunin di tengah jalan lagi. Tapi, yakin, nih, mau jalan kaki? Jarak Dipatiukur ke Trans Studio Bandung kalau dipatok lurus itu sekitar 7 km dan kita terpikir untuk jalan kaki?!
Kita maju-mundur gitu mau jalan kaki. Tapi, mikir lagi, “Ah, kalo dibawa santai juga nggak berasa.”
“Iya, sekalian bisa lebih explore Bandung, lihat-lihat bangunannya dari deket.”
“Lumayan, hemat duit delapan ribuan.”
Dan, kita pun berjalan kaki.
Luar biasa.
Bermodalkan Google Maps, kita menyusuri jalanan Bandung di hari yang saat itu mulai siang. Sempet bingung juga pas kita mentok di Gedung Sate, harus ke kanan apa ke kiri biar ketemu lagi jalan yang bener. Setelah bolak balik dua kali, kita akhirnya kembali ke jalan yang benar. Emang bener, sih, karena jalan kaki kita jadi tahu kalau saat itu trotoar-trotoar di Bandung lagi direnovasi. Terlihat sekarang trotoar di jalanan Bandung banyak tempat duduknya dan lebih tertata rapi. Di tengah perjalanan, kaki udah mulai sakit terutama telapaknya. Punggung juga udah lumayan pegel, karena saat itu kita bawa banyak banget barang, sampai bawa baju ganti segala. Untung Ejak nggak bawa apa-apa, jadi sesekali gentian suruh dia yang bawa tas aku atau Winda.
Tugas kita cuma jalan lurus aja sampai ketemu lampu merah apa aku lupa, lalu belok kiri dan jalan lurus lagi sampai ketemu gedung TSB-nya. Selain capek, jalan lempeng aja ternyata bikin bosen juga. Mana nggak begitu banyak ikon menarik disana, jadi nggak terlalu banyak “lihat-lihat”. Begitu kita udah belok dari lampu merah yang “itu”, nggak lama setelahnya kita sadar bahwa bentar lagi kita udah mau sampai ke TSB. Karena merasa udah mau finish dan capek juga haus, kita me-reward diri kita dengan beli jus buah yang ada di depan mata seharga lima ribu. Dari situ, kita benar-benar mengakui betapa bodohnya kita. Jalan jauh-jauh setengah mati cuma biar bisa hemat duit, tapi dengan santainya beli jus buah padahal belum sampai di tempat tujuan.
Untung nggak ada yang sewot, jadi kita cuma ketawa-ketawa aja. Setelah ilang hausnya, kita lanjut jalan dan nggak lama dari situ sampailah kita ke gedung yang super besar dan luas. Wow! Kita udah sampai di TSB‼!


Karena aku insiatif dan cerdas banget anaknya, aku udah pesen tiket via online dan dapet potongan 15% kalau nggak salah. Lumayan, cuy! Kita, kan, dateng waktu musim liburan dan harganya otomatis lebih mahal dari biasanya, jadi lumayan banget bisa dapet potongan gini. Selain itu, keuntungan lain dari pesen tiket online adalah kita nggak perlu ngantre untuk masuk ke TSB-nya. Keren, kan? Oya, ternyata tiket online aku itu ambilnya bukan di penjaga tiket, tapi ada mas-mas yang emang sengaja nungguin aku dan mungkin para pemesan via online lainnya. Sejujurnya, kita tahu kalau kita bisa langsung naik ke atas alias langsung masuk ke TSB itu baru saat mas itu kasih tiketnya. Saat itu antreannya emang panjang banget, udah sampai ke luar segala. Lucky us, kita dengan songongnya jalan santai melewati mereka-mereka yang ngantre dan langsung naik ke atas. Di dalem super rame, cuy! Padahal baru tanggal 15 tapi ternyata udah banyak banget yang liburan, kebanyakan, sih, anak-anak TK atau SD gitu. Mungkin semacam “Study Tour” gitu kali, ya.
Nah, kalau kalian udah ke TSB pasti tau kalau wahana yang pertama kali kalian lihat itu pastilah roller coaster-nya (karena dari luar pun udah kelihatan). Sejak masih di luar, Ejak udah semangat banget mau ngajakin naik roller coaster-nya. Aku sama Winda nggak mau karena takut nggak kuat pas udah disana. Begitu masuk ke dalem, aku lihat ada wahana Vertigo. Sekarang gantian, aku yang semangat ngajakin mereka berdua naik Vertigo, tapi nggak ada yang mau. Ejak tetep kekeuh ngajak naik roller coaster sementara Winda malah lebih tertarik untuk naik wahana lain, lupa apa namanya. Udah, deh, nggak ada yang ketemu. Setelah ribut sana-sini, kita memutuskan untuk masuk ke Dunia Lain aja.
Sumpah, tiap-tiap wahana itu antreannya panjang banget. Bahkan, kita nggak kebagian masuk teater-teaternya saking ramenya. Belum lagi jalan di sana udah kayak di pasar malem, rame banget pokoknya. Baru di Dunia Lain aja, kita udah ngantre lama banget. Awalnya aku mengira kita termasuk orang-orang yang cool gitu. Kan, seremnya “boongan”, masa sih takut? Apalagi udah sering lihat di tv gimana suasana di dalem wahananya, masa sih takut? Begitu naik ke keretanya…
Ampun, kita norak abis!
Awal-awal masih mencoba cool, udah masuk ke tengah, kita mulai parno sendiri. Ya, parno aja gitu. Jadi, hal tercemen yang kita lakukan adalah, kita nyanyi dengan volume suara yang lebih mirip orang teriak, ngabisin satu lagu Taylor – You Belong With Me dan Michael Buble – Haven’t Met You Yet beserta lagu lain yang aku lupa. Mentang-mentang gelap, berasa lagi karaokean kali, ya. Kebetulan satu kereta itu cuma kita bertiga, kereta di belakang kita jaraknya nggak terlalu dekat dengan kami dan yang di depan udah jauh kayaknya. Jadi, ya, begitulah, kita ketakutan, nyanyi-nyanyi nggak jelas sampai akhrinya ketemu “kehidupan” dan bilang “Oh, udah? Gini aja, nih?”
Mau minta ditampol banget nggak, sih?
Setelah Dunia Lain, seperti yang udah bisa ditebak, kita cuma naik wahana-wahana cemen aja. Wahana paling “menantang” yang kita naikin adalah Jelajah, that’s It. Begitu udah mulai sore dan sepi, Ejak mancing lagi, “Win, itu Vertigo udah sepi, naik gih!”
Mana punya keberanian lagi! Beraninya, kan, cuma di awal doang. Begitu udah sore dan makin capek gini, mana kepikiran lagi mau naik-naik begituan.


Akhirnya kita pulang tanpa pernah nyobain wahana-wahana serunya TSB. Dan kalian tahu, kita beneran nggak makan sama sekali selama berada di TSB itu. Yang intinya adalah kita nggak makan siang. Maklum, makanan di TSB kan mahal-mahal. Yang harga 10-20 ribu paling cuma snack-snack doang. Entah emang ditahan atau nggak berasa, kita emang nggak begitu ngeluh laper selama disana. Begitu pulang, karena emang udah mau malem, kita akhirnya untuk cari makan begitu turun dari angkot pertama.

Saat itu udah lepas magrib deh kayaknya, kita beli nasi goreng yang jualan di pinggir trotoar gitu. Setelah selesai, kita kembali berpetualang mencari angkot yang rutenya ke arah Dipatiukur. Untungnya, nggak ada drama angkot hari itu, jadi kita bisa pulang dengan lancar jaya.

Kesan Hari Pertama


Minggu, 14 Desember 2014
Pagi ini kita janjian untuk jalan-jalan CFD-an di seputaran Dago bersama Gatot, teman sekelasku yang menumpangi Ejak selama di Bandung. Kita memutuskan untuk bertemu di McD simpang Dago yang sudah terkenal itu. Setelah semuanya berkumpul, mulailah kita berjalan santai. Rutenya dari McD simpang Dago berjalan lurus dr jalan Juanda sampai ke taman Dago dan mencari sarapan disana, foto-foto sebentar dan berjalan lagi menuju Pasar Kaget Gasibu. Pengennya beli sesuatu yang murah dan bisa dijadikan oleh-oleh, tapi ternyata nggak ada yang menarik. Jadi kita hanya berkeliling dan jajan cilor aja disana. Hehehe. Setelah itu kita langsung pulang lagi, deh, ke kosan masing-masing dan udah merencanakan destinasi selanjutnya siang hari nanti.



Destinasi selanjutnya adalah ke PVJ alias Paris Van Java, tapi biar nggak buang waktu dan tenaga kita memutuskan untuk langsung ketemua di PVJ aja. Maklum, walaupun kosan kita nggak begitu jauh, untuk ketemu dulu itu lumayan ngeluarin tenaga kalau jalan kaki dan sayang ongkos kalau mau naik angkot. Selama berada di Bandung, Google Maps banyak membantu kita. Ada juga semacam website yang ngasih tau berbagai rute angkota di Bandung. Jadi, kita tinggal masukkin aja dimana kita mau naik angkot dan dimana kita mau turun, terus website itu akan ngasih tau angkot apa aja yang harus kita naikkin dan dimana berenti untuk naik angkot selanjutnya. Nah, aku dan Winda memanfaatkan kecanggihan Google Maps dan website itu dengan baik dan benar jadi kita sampai ke PVJ tepat waktu dan nggak pake nyasar. Lain cerita sama Ejak, dia konvensional gitu. Jadi, dia “ngikut” aja mamang angkotnya jalan kemana dan akhirnya dia salah jalan. Padahal, dia udah jalan sebelum kita jalan. Tapi akhirnya kita sampai duluan, dan dia baru sampai beberapa menit setelahnya setalah jalan kaki dari tempat dia turun angkot sampai ke PVJ. Sungguh cerdas sekali.
Di PVJ kita cuma lihat-lihat doang, mau masuk ke toko-tokonya pun nggak berani. Udah sore, kita laper karena sama-sama belum makan siang. Jadi, ya udah, setidaknya kita ada mau makan nih ceritanya di PVJ. Persoalan berikutnya adalah, kita sama-sama ragu mau masuk ke restorannya. Takut harganya mahal-mahal. Sementara mau ke JCo, nggak ada yang bisa ngeyangin perut. Ke KFC atau Solaria? Ogah, ngapain jauh-jauh ke Bandung makannya masih itu lagi itu lagi. Akhirnya kita bertiga muterin dua-tiga kali PVJ untuk mastiin ada nggak nih tempat yang bisa kita datangin untuk makan. Sumpah, kita udah kayak gembel banget sih di Bandung (dan makin kelihatan kayak gembel kalau kalian baca cerita-cerita selanjutnya). Setelah debat berkali-kali karena aku pengen cobain makan di Domino sementara Winda nggak pengen makan pizza dan pertimbangan lain lagi-lagi takut kemahalan, ujung-ujungnya kita makan di Burger King. Keputusan yang sangat “bijaksana” sekali.
Setelah cukup kenyang dan ngerasa nggak ada yang mau kita lihat-lihat lagi di PVJ, kita bergegas untuk makan es krim di Toast Cream, yang lokasinya nggak jauh dari kosan kita. Dari PVJ ke Toast Cream itu kita bertiga naik angkot sesuai rute angkot yang diarahin sama website yang aku jelasin tadi. Cerita berikutnya adalah, si mamang angkotnya nggak lewat rute yang seharusnya, jadi kita terpaksa turun entah dimana karena kalau tetap diterusin kita akan lebih jauh lagi perginya. Lagi-lagi kita mengandalkan Google Maps untuk menyelematkan hidup kita saat itu. Well, sebenarnya tempat kita saat itu udah nggak begitu jauh dari lokasi Toast Cream yang ada di Jalan Teuku Umar. Tapi, untuk ditempuh dengan jalan kaki sendiri, kita paling nggak butuh 15-20 menit untuk sampai disana. Karena sayang ongkos kalau mau naik angkot lagi dan takutnya malah “nggak sampai” di tempat lagi, akhirnya kita ikhlas sore yang hampir magrib itu kita habiskan dengan berjalan kaki. Sebenarnya, ngerinya itu adalah, beberapa titik jalanan yang kita lewatin emang sepi dan nggak banyak kendaraan lewat, ditambah emang udah mau magrib. Takut tahu-tahu ada yang iseng aja.

Untungnya kita sangat “menikmati” perjalanan kita dengan ngakak-ngakak menertawai kekonyolan liburan yang baru berjalan dua hari ini. Begitu sampai di Toast Cream, ternyata rame banget! Maklum, waktu itu Toast Cream lagi happening banget di Bandung. Jadi, kita harus antre dulu sampai pengunjung lain selesai makan. Begitu kita dapet tempat duduk, kita sok-sokan pesen masing-masing satu porsi, karena malu kalau makannya cicip-cicipan, ditambah lagi kita emang penasaran banget sama menu di Toast Cream yang emang kelihatannya enak banget itu. Tapi, ternyata aku sama Winda nggak ada yang abis makannya. Aku kayak nyesel banget gitu nggak bisa ngabisin es krimnya. Sebenarnya enak, cuma terlalu “berat” aja menurutku jadi cepet kenyang. Disana juga kita nggak bisa lama-lama karena antreannya ada terus, jadi begitu selesai kita langsung keluar dan memutuskan untuk balik ke asal masing-masing (baca: kosan).

Bukan Mak Comblang


Gue kesal. Lagi-lagi gue harus merasakan kebosanan yang sama tiap harinya. Nggak ada yang berubah dari rutinitas gue. Aktivitas standar yang biasa dilakukan anak sekolahan lainnya. Namun, sebenarnya satu hal yang paling bikin gue kesal adalah kenyataan bahwa status kejombloan gue tetap dalam level yang sama. Sampai saat ini, belum ada juga cowok yang mau mendekati gue. Level gue belum naik tingkat—sebagai PDKT-ers—sedikitpun.
“Win, akhirnya gue jadian sama dia. Uh, akhirnya…”
“Eh, tadi gue lihat di twitter-nya dia, dia udah jadian loh sama adik kelas yang juara umum itu.”
Perlahan, semakin banyak orang jadian di muka bumi ini. Teman-teman gue mulai mengakhiri masa kejombloannya, tetapi gue tetap nggak berkutik. Gebetan aja nggak punya, apa lagi mau jadian kayak gitu. Mahkota jomblo kayaknya masih betah nangkring di kepala gue. Gue nggak mengerti apa yang salah dari sikap gue ke cowok-cowok selama ini.
Gue masih mencari-cari alasan—yang mungkin bisa gue terima—di balik kejombloan gue yang nggak pernah berakhir ini ketika hp gue berbunyi. Iya, akhirnya hp gue berbunyi. Semoga aja bukan provider yang entah kenapa rajin banget mengingatkan gue untuk mengisi pulsa, bukan juga orang nyasar yang minta transfer uang ke rekening.
Doa gue terkabul. Emang bukan provider atau orang nyasar minta kirimin uang, melainkan teman gue di kelas sebelah yang entah kenapa sering banget sms gue belakangan ini. Namanya Agung. Iya sih, gue bisa sedikit kegirangan karena paling nggak yang sms gue itu cowok. Tapi…
Gue td liat Sinta pulang sklh. Tp kok ga bareng sm lo, ya? Ya biasanya kan lo bareng dia mulu. Hehehe.
Tapi bete juga kan kalo ternyata dia itu bukan perlu sama lo-nya. Dia cuma mau nanyain kabar Sinta lewat gue. Nggak jadi deh gue girangnya.
Oh, itu tadi dia ada les gitu. Ada apa?
Gue ogah-ogahan membalas sms Agung.
Lo ga les jg? Ga kenapa2 kok, mau tanya2 doang. Hehehe, ga boleh ya?
Sejujurnya sih nggak boleh banget. Kenapa nggak tanya orangnya langsung aja? Bikin mood gue ancur aja sih. Tapi mau gimana lagi, reputasi gue sedang dipertaruhkan disini. Kalau gue putus sms-nya, nanti gue disangka sombong, deh. Udah jomblo, dicap sombong pula. Hiiii
Gue les di bimbel lain, Gung. Iya, gpp sih.
Akhirnya gue dan Agung sms-an sampai larut malam. Dengan agak terpaksa gue meladeni sms dia demi reputasi yang sedang gue perjuangkan. Jujur aja, gue paling nggak bisa tidur larut, tapi malam ini adalah pengecualian. Gue heran, ya, sama cowok-cowok, kalau lagi suka sama cewek, kenapa sih lebih suka nanya-nanya ke temannya daripada nanya langsung? Cemen banget!
Besoknya, di sekolah. Nggak ngerti kebetulan macam apa ini, tiba-tiba aja gue yang lagi jalan menuju gedung sekolah menemukan Agung yang sedang memarkir motor di parkiran. Emang harus gitu kali, ya, kalo kemarinnya ada ngobrol bareng atau sms-an atau apa, pasti besoknya ada aja momen ketemuan yang bikin canggung. Gue suka grogi nih kalau terkepung situasi kayak gini. Gue cuma berdoa supaya dia nggak melihat gue.
“Hei, Win! Baru dateng juga?”
Mati gue! Kenapa harus nyapa gue, sih? Gue merasa kakinya menyamakan langkah gue. Mencoba biasa aja, gue menolah ke arah Agung dengan melempar senyum semanis mungkin. Wajahnya yang ramah langsung nodong gue secara nggak manusiawi. Muka lo nggak usah sok manis gitu bisa kali! “Hah? Oh, iya nih,” jawab gue gelagapan.
“Tumben. Gara-gara gue sms semalem, ya?”
Tumben? Sok tau banget sih nih cowok. “Nggaklah, ge-er deh.”
“Emangnya gue cewek, yang gampang kege-eran?” Agung terkikik dengan bola mata yang melirik ke arah gue.
“Dih, norak tau! Hahaha.” Gue mendongak dan seketika gue bisa kembali melihat wajah Agung yang benar-benar bersahabat pagi ini. Dia senyum ke gue. Nggak berapa lama, tau-tau aja gue udah berada di depan kelas bersama Agung di sebelah gue.
“Duluan, ya!” gue pamit. Dia hanya mengangguk sebagai isyarat.
Gue masuk ke dalam kelas dan mendapati Sinta mengangguk pelan seraya tersenyum di bangkunya. Gue menoleh ke belakang, “Oh, Agung,” gue melihat Agung melambaikan tangannya kepada Sinta sambil tersenyum, “Dia nanyain lo, tuh!”
“Oh ya?” Sinta antusias.
Gue mengangguk, “Yap!”
Hari-hari berikutnya, hidup gue sedikit berubah. Bukan, bukan karena status jomblo gue udah berganti dengan status berpacaran. Gue tetap pada mahkota kejombloan gue, tapi dengan sedikit peningkatan. Peningkatannya adalah gue sekarang menjadi teman curhatnya Agung. Gue dan Agung resmi menjadi teman—entah sejak kapan. Tiap hari dia sms gue. Dan bisa ditebak, Sinta-lah yang menjadi alasan kedekatan kami. Gue bukannya nggak senang melihat Sinta disukai sama cowok, tapi gue kesal kenapa si cowok harus menjadikan gue sebagai Mak Comblang. Gue aja jomblo, masa iya gue harus nyomblangin orang lain?
“Lo beda, ya, sama Sinta. Kalo Sinta orangnya ceria, lucu gitu. Sedangkan lo, sorry nih kalo gue salah, tapi kayaknya lo cenderung cuek, ya? Hehehe. Tapi keren, kok, gue suka cewek cuek-cuek kayak lo gini, nggak gampangan,” ceplos Agung ketika dia minta temani gue ke toko buku.
Gue harus jawab apa coba? Gue aja nggak bisa bedain, dia lagi muji apa lagi nyindir. Dibanding-bandingin tuh emang nggak enak. Kalau udah gitu, gue cuma bisa membalas dengan jurus “hehehe” yang gue punya.
 “Kenapa nggak lo tembak aja?” Semakin kesini, gue melihat Agung semakin akrab sama Sinta. Seharusnya sih Agung udah bisa melancarkan aksinya untuk nembak. Gue nggak tahu pertimbangan apa yang udah bikin dia selabil ini untuk mengambil keputusan.
“Gue belum tau alasan kenapa gue harus nembak dia,” jawab Agung sambil menonton pertandingan basket yang diadakan di sekolah gue. Gue dan Agung berada di depan kelas gue, duduk di bangku yang sengaja gue tarik keluar dari dalam kelas. Sinta tampil sebagai anggota cheerleader yang sedang melaksanakan tugasnya untuk menyemangati anak-anak basket yang sedang bertanding. Sesekali Sinta menoleh ke arah kami.
“Emangnya kalo suka sama orang harus pake alasan, ya? Nggak, kan?” suara gue mencoba membelah riuhnya pendukung masing-masing sekolah.
“Iya. Tapi gue sukanya sama lo.”
Gue mengerutkan alis, “Hahahaha! Gue bukan cewek-cewek yang gampang kege-eran kayak yang lo bilang. Jadi, sorry aja nih, nggak mempan.”
“Tuh kan, gue yakin lo pasti nggak percaya deh. Gue beneran. Gue serius suka sama lo.”
Gue diam. Gue melihat melalui ekor mata gue, Agung mengalihkan pandangannya ke gue. Pelan-pelan gue menghadap Agung yang masih terus memandangi gue. Gue tahu gue lagi nggak nonton ftv. Ini nyata, gue nggak lagi mimpi.
“Lo suka sama gue?” tanya gue untuk memastikan, “Terus, Sinta?”
“Itu, kan, lo yang bikin kesimpulan sendiri. Gue nggak punya alasan kenapa gue harus nembak Sinta. Karena dari awal, gue sukanya sama lo.”
“Hah?”
 Ini sebenarnya gue yang bego apa gimana sih? Agung suka sama gue. Dia nggak suka sama Sinta. Terus, gue suka sama siapa? Nasib Sinta gimana?
“Iya, gue suka sama lo.”
“Oh iya iya, gue ngerti sekarang.”
“Terus?”
“Apa?”
“Ah, lo mah.”
“Apaan?”
“Katanya udah ngerti, terus kenapa masih nanya?”
“Beneran deh, Gung. Maksudnya apa? Terus apa?”
Oke, ini di luar ekspektasi gue. Mana kepikiran di otak gue kalau Agung sukanya sama gue. Gue nggak merasa dia caper ke gue. Lagian, selama ini dia, kan, dekat sama Sinta. Kok bisa suka sama gue, sih?
Asli, gue beneran nggak jago soal beginian.
“Gue suka sama lo, terus lo-nya gimana ke gue?” Agung kedengarannya mencoba sabar banget menghadapi gue yang lemotnya kambuh kayak gini.
“Ya, nggak gimana-gimana. Dari awal gue mikirnya lo suka sama Sinta, mana tau lo suka sama gue.”
“Iya, terus sekarang, kan, udah tau.”
“Iya, tapi gue nggak mungkin langsung tiba-tiba suka sama lo juga, kan?”
Agung diam, nggak membalas ucapan gue lagi. Apa ada yang salah dari kata-kata gue?
“Hmm, ya, bener, sih, yang lo bilang,” setelah beberapa saat Agung kembali bersuara.
Duh, salah ngomong, nih, kayaknya. “Duh, Gung, gimana, ya, susah gue bilangnya. Maksud gue, untuk saat ini, ya, gue belum ada perasaan apa-apa ke lo. Selama ini gue nggak pernah berharap lebih ke lo. Ya, gue realistis aja, yang gue lihat lo dateng ke gue karena Sinta.”
Belum pacaran aja, kok, udah ribet gini urusannya, ya?
“Mau kasih gue kesempatan?”
Gue makin bingung. “Sinta?”
“Ya ampun! Lo ini nggak paham juga, ya? Sumpah, lo nggak peka banget, sih, jadi cewek!” Agung geleng-geleng kepala seraya mengacak-acak rambut gue. “Gue deketin dia biar bisa cari-cari tahu tentang lo, bukan sebaliknya. Dia tau, kok, gue suka sama lo.”
“Oh…” Ternyata gue se-nggak-peka itu, ya. Gue baru paham sekarang.
“Terus? Apa lagi yang masih bikin lo bingung? Pertanyaan gue belum dijawab, nih!”
Kalau posisinya kayak gini, gue harus jawab apa, ya? Ya Tuhan, kenapa gue bego banget soal beginian?!
“Pertanyaan yang mana lagi?!”
Agung membelalak nggak percaya, “Astaga, lo ini. Kenapa gue bisa suka sama lo, sih?!” Ya, mana gue tahu. “Kasih gue kesempatan, ya? Biar lo juga bisa suka sama gue.”
Sebelumnya gue belum pernah pacaran. Bahkan, kayaknya belum ada juga yang terang-terangan deketin gue atau bilang suka ke gue. Ini pertama kalinya, dan ternyata menyenangkan juga, ya, tahu ada yang suka sama gue.
“Ya, pastilah! Nggak ada alasan juga untuk nggak kasih lo kesempatan.”
Agung tersenyum lebar, lalu kembali mengacak-acak rambut gue.

Cerita menuju Bandung


Dua bulan sebelum berangkat, Winda dan Ejak sudah berencana untuk liburan di akhir tahun. Aku diem aja karena nggak ada tabungan sama sekali untuk liburan, saat itu lagi seret-seretnya banget. Singkat cerita, sebulan sebelum akhir tahun iseng cerita ke salah satu oom aku dan beliau mau bayarin liburan kita (aku sama Winda aja loh, bukan bertiga) nanti. Oh, thank God!

Setelah tahu aku bisa ikut liburan, aku jadi semangat 45 hahaha! Tanpa diminta aku mengusul untuk cari daftar-daftar tempat yang wajib dikunjungi, gimana akomodasi kesana dan selama disana, sampai tarif ongkos dan masing-masing tempat wisata. Winda dan Ejak mengurus tumpangan selama disana. Ya, untungnya kita punya teman dan kakak kelas yang bersedia kosannya ditumpangi. Winda kontak-kontakan sama Yuk Yustika, Ejak kontak-kontakan dengan Gatot.

Nah, saat itu oom aku minta data pribadi kita bertiga dan bilang akan mengurus akomodasi keberangkatan kita. Kita berkali-kali mesen sama beliau pesenin bus aja, biar murah dan sekalian kita juga pengen ngerasain backpacker-an gitu. Agak curiga sebenarnya, sampai H-2 kita belum tahu kita akan naik apa dan gimana. Setelah dikonfirmasi, ternyata oom aku pesenin tiket pesawat ke Jakarta dan nyiapin supir langganan beliau yang ada di Jakarta untuk nganterin kita ke Bandung. Di satu sisi seneng tapi prihatin juga, kok malah difasilitasin enak banget gini. Uang saku aja dari beliau, akomodasi masih dienakin juga.

Sabtu, 13 Desember 2014
Berikutnya, hari yang ditunggu pun tiba! Sekitar jam sepuluh kita udah siap mau berangkat ke Bandara. Rencananya mau dianter sama Ayah Ejak tapi begitu udah mau berangkat mobilnya mogok dan kita panik mesti minta tolong sama siapa. Untungnya, Dina lagi senggang dan bisa nganter kita ke bandara. Kurang dari satu jam kita ngebut dari Plaju ke Bandara. Mana oleh-oleh belum dibeli, jadi kita sempetin mampir dulu di salah satu toko pempek. Di mobil cemas banget takut nggak keburu dan ketinggalan pesawat, untungnya kita tiba di Bandara tepat waktu dan masih bisa ikut pesawat. Tapi, begonya adalah, aku kelupaan bawa pempek oleh-oleh di boarding pass saking buru-burunya. Kesel minta ampun! Sia-sia aja ngeluarin duit untuk kasih oleh-oleh dengan resiko ketinggalan pesawat, eh tetap nggak bisa ngasih juga ujung-ujungnya.

Sampai di Jakarta kita udah ditungguin sama Mas Ifan, supir oom aku itu loh. Dia tanya kita mau keliling Jakarta dulu apa langsung jalan ke Bandung. Agak canggung juga awalnya. Pertama, kita nggak nyiapin daftar wisata di Jakarta. Kedua, kita belum tahu ini orang udah dibayar apa kita yang bayar apa udah dibayar tapi kalo keliling Jakarta dulu mesti bayar lagi, kita nggak tahu sama sekali. Akhirnya, ya udah, kita putuskan untuk ke Kota Tua dulu.





Setelah dari situ, dia tanya mau kemana lagi. Bingung lagi, dong. Akhirnya kita bilang mau makan es krim di Ragusa. Ngeselinnya, ini orang ternyata di perjalanan menuju Ragusa ngajak satu temannya untuk ikut kita! Kalian tahu, kan, apa yang kita pikirkan saat itu? Ini dua orang siapa yang mau bayarin?!! Mana selama perjalanan Mas Ifan ini selalu mengeluh-eluhkan oom aku, seolah-olah kita pasti sedermawan oom aku. Cuy, kita disini aja dimodalin!

Dengan setengah hati kita jajan es krim ke Ragusa dan traktir mereka berdua juga. Belum lagi semua tol dan bensin kita yang bayar. Hmm, apakah kita bertiga terkesan pelit? Menurutku rasa keberatan kita itu masuk akal banget. Uang kita minim beneran minim, kita mau liburan satu minggu dan belum juga sampai di Bandung uang kita udah terkuras seperempatnya. Kita kaget aja gitu tiba-tiba ‘ditodong’ untuk bayar ini dan itu yang di luar dari anggaran kita bertiga.

Padahal temannya Mas Ifan ini manis, loh, kayak Rio Dewanto. Mana dia lebih kalem pula. Tapi tetap aja kesal juga. Eh pas masuk Bandung, ternyata mereka juga nggak begitu familiar sama jalannya. Jadi beberapa kali salah jalan gitu. Sebelum mengantar aku dan Winda, kita mengantar Ejak dulu ke kosan Gatot di sekitaran ITB, baru selanjutnya mengantar kita ke Dipatiukur. Kita tiba tepat di depan Unpad Bandung sekitar jam sepuluh malam, dan menunggu Yuk Yustika jemput kita disana, karena katanya kosannya masuk lorong kecil dan mobil nggak bisa masuk.

Setelah Yuk Yustika datang dan kita pamit dengan Mas Ifan dan temannya, kita membeli martabak dulu untuk ngisi perut sebelum tidur hari itu. Nggak nyangka, hari pertama perjalanan kita dari Palembang ke Bandung aja ternyata udah punya banyak cerita, belum lagi selama menghabiskan waktu liburan disana. Masih banyak cerita-cerita seru nan absurd lainnya selama kita di Bandung, jadi kita lanjut di postingan selanjutnya aja, ya!

#1 Tetangga Favorit


"Baru pulang, Ndok?"

Tadi siang aku baru saja tiba dari luar kota, setelah tiga hari menjalankan dinas dari kantor. Tak sempat istirahat, aku langsung melanjutkan pekerjaanku yang tertunda dan telah menumpuk. Dunia kerja memaksaku untuk kaku dan bekerja seperti mesin. Harus terus bergerak agar tak dikira rusak, bisa-bisa diganti dengan yang baru.

Rumah jadi satu-satunya tempat yang ingin aku singgahi segera. Ingin lari sejenak dari dinginnya hawa persaingan, bertemu dengan orang-orang kesayangan.



"Iya, Nek," jawabku sembari menoleh ke arah sepasang kakek-nenek di seberang rumah.

Komplek rumahku sangat sepi, orang-orang keluar rumah hanya saat ingin berpergian dan kembali ke rumah saat sudah petang atau malam. Tidak banyak interaksi di antara kami, terutama karena keluargaku pendatang baru di komplek ini. Seringnya hafal wajah tapi lupa tetangga yang mana dan siapa namanya. Tapi pasangan kakek-nenek penghuni Blok E5 ini tetangga favoritku.

"Kakek-nenek dari mana? Mesra sekali sore-sore begini berduaan, bikin iri saja." Aku menghampiri mereka di seberang jalan lalu sungkem tanda hormat.

Mereka usai jalan-jalan keliling komplek, mencari udara segar katanya. Kami mengobrol sebentar, membicarakan perjalananku ke luar kota kemarin dan pohon mangga milik Kakek yang sedang berbuah. Kemudian mereka mengajakku berkunjung ke rumah mereka. "Ayo, mampir dulu. Nanti Kakek bawakan mangga yang buanyakkk, biar ndak rebutan sama adikmu. Hehehe."

Aku mengekor mereka masuk ke dalam rumah. Binar mata yang dipancarkan oleh kakek-nenek ini membuatku lupa akan lelah.

"Eyang!!!"

Balita lucu berlari kecil menghampiri Kakek yang kemudian menyambutnya dengan gendongan. "Cucu Eyang sudah bangun, toh!"

Kakek memberi isyarat, "Tunggu sebentar."

Hanya sapaan sederhana dari seorang tetangga, mengobrol santai membicarakan mangga Kakek, memandangi kasih sayang di antara mereka... Hal-hal kecil yang kusadari sudah lama tak kutemui di keseharianku. Aku sadar bukan hanya rumah yang kurindukan, namun juga suasana ramah di sekelilingnya.

"Nenek buatkan minum dulu. Kamu duduk aja, istirahat," Nenek mempersilakan duduk.

Aku selalu melangkah lurus ke depan, tak punya waktu untuk menikmati sekeliling melihat ke kanan dan ke kiri. Mengintip kehangatan rumah kakek Suryo rasanya memberiku energi lebih.

"Nek, ada bolu pandan dari Mama di meja dapur," teriak seorang cowok dari ruang keluarga. "Aku numpang nonton film disini, ya. Di rumah lagi banyak tamu."

"Itu, ada Alin di depan. Mbok, yo, diajak nonton juga," timpal Kakek.

Rasanya tidak ada yang tidak akrab dengan kakek-nenek ini. Gani, anak tetangga sebelah yang jarang keluar rumah saja bisa betah main di rumah ini.

"Loh, ada tamu, ya?" Padahal dia juga tamu disini. Galih memanjangkan leher dari balik sofa, "Ngapain disana sendirian? Sini!"

Komplek ini terasa lebih manusiawi karena keberadaan penghuni Blok E5.


Kapan Nikah?

"Kapan nyusul--nikah?"


Nggak nyangka juga, ya, sekarang udah mulai ditanya-tanyain kapan nikah. Kayaknya belum tua-tua amat, tapi udah dirempongin sama pertanyaan itu. Belum juga ilang di telinga rasanya ditanya kapan lulus.

Karena ada beberapa teman yang udah duluan ketemu jodohnya, yang lain jadi suka ngeledekin dengan pertanyaan itu. Apalagi kalau masih jomblo, makin asyik ngeledekinnya.. Mungkin cuma bercanda, tapi ya kepikiran juga.

Well, aku mau bagi pendapatku aja, ya. Ini pendapatku sekarang, detik ini, beda dengan kemarin dan belum tentu sama dengan besok.


Kenapa harus cepet-cepet nyusul? Kalau udah nyusul, terus kenapa? Sebenarnya, konsep yang nggak aku suka dari pertanyaan itu adalah, seolah-olah nikah itu hanya jadi tuntutan sosial dan bagian dari latahnya masyarakat. Seolah-olah kita harus melakukan apa yang orang lain lakukan. Seolah-olah kalau kita belum melakukan hal itu, kita belum cukup "keren". Seolah-olah belum nikah itu "penyakit" sosial bagi manusia berumur 20an ke atas.



Sejujurnya, aku juga salah satu orang yang suka bercanda dengan pertanyaan itu. Tapi aku tersadar pertanyaan itu nggak sebercanda itu bagi sebagian orang. Mungkin sekarang aku masih ketawa-ketawa aja ditanya begitu, tapi nggak akan lama lagi aku pasti akan gerah juga. Jadi, aku coba menyamakan pemikiranku sekarang dan pemikiranku "nanti".


Memang ada sebagian orang yang masa bodo soal pernikahan, belum kepikiran atau memang nggak mau nikah. Aku nggak akan bahas itu. Tapi banyak sekali orang yang sudah siap dan ingin menikah tapi belum juga dikasih jodohnya. Kamu (atau kita), yang tanya-tanya kapan nyusul, bisa bantu apa? Nikah nggak segampang "laper ya makan, ngantuk ya tidur". Ada proses ketertarikan, kemauan, kesiapan, dan keyakinan yang harus dipenuhi. Dan perlu diingat itu bukan menjadi urusan satu pihak saja. Susah loh menemukan orang yang sama-sama tertarik, mau, siap, dan merasa teryakini (ini poin utamanya) untuk dinikahi dan menikahi. Nggak ada kepastian akan jadi seperti apa hidup di masa depan nanti, itulah kenapa orang-orang susah merasa teryakini "Oke, gue mau nikah sama ini orang".

Sebenarnya kita semua tau bahwa nikah itu nggak sesederhana dan seenteng bertanya kapan nyusul--nikah. Tapi kita suka lupa kalau pertanyaan itu menyentuh sensitivitas banyak orang, karena balik lagi, nikah nggak sesederhana itu. Kalau bisa kan sekali seumur hidup, masa iya mau seenaknya "yang penting bisa makan hari ini, besok urusan besok".

Nikah itu bukan susul-menyusul dan main cepet-cepetan, bukan untuk pemuas kebutuhan sosial--dan ekonomi juga. Kalau ada yang udah nikah duluan, ya syukur, tapi kayaknya kita nggak perlu lagi deh repot-repot "ngingetin" orang lain.



Well, this is not only for you, but me too. Daripada tanya kapan nyusul--nikah, mending doain biar cepat didekatkan sama jodohnya. Jadi, orang lain nggak tanyain kita kapan nyusul--nikah, tapi justru doain kita biar cepat didekatkan sama jodohnya.

Si Antagonis


Aku tau konsekuensinya menjadi penghilang bosan seseorang yang telah berpasangan. Memang salahku telah memberimu cela, sekarang aku susah--dan sungkan berhenti.


---



Kisah cintaku tak pernah pasti. Begitu juga kali ini, aku masih saja menjalani hubungan tanpa status dengannya, tapi dengan sadar juga menikmati peran sebagai antagonis dalam hubungan orang lain. Gilanya, kami semua berada di lingkaran pertemanan yang sama. Tak terhitung berapa kali aku mengutuk diriku sendiri untuk semua keadaan rumit ini.



Tapi...



Bukan aku yang memulainya, sungguh. Sama sekali tak ada niat untuk menjadi jahat seperti ini. Lingkungan yang membuatku begitu saja satu jengkal lebih dekat dengan pacar orang, lebih akrab lagi dan kemudian makin hanyut terbawa perasaan.



Sekali saja, bolehkah aku membela diri?



---



Keadaan menuntunku.
Aku tengah lelah dan berulang kali ingin menyerah atas hubunganku dengannya yang tak pernah sampai pada titik terang. Kemudian kau datang menjadi peredam atas perasaan meledak-ledakku karena ketidakpastian hubunganku. Di sisi lain aku tau, aku juga membantumu menghapus penat dengannya, kan?



Hhh, simbiosis mutualisme yang aneh memang.



Padahal kita hanya kebetulan tumbuh di hubungan yang tak sehat dan mencoba bersenang-senang sesekali. Sayangnya kita lupa bahwa sesekali yang terlalu sering akan menjadi sebuah ketergantungan. Sekarang aku tidak bisa mengabaikanmu, tapi juga tak bisa meninggalkannya.