“Kamu sering kesini, ya?” tanyaku
basa-basi, coba mencari obrolan.
“Kalau dibanding kamu, ya sering.”
“Ah, hehehe.”
Kemudian hening.
Oke, obrolan selesai.
Aku mengaku, aku sangat payah soal ini.
Entah mengapa, rasanya aku sulit sekali menciptakan obrolan lebih dari lima
menit. Bahkan, yang baru saja keluar dari mulutku itu bukan terdengar seperti
obrolan. Aku sering mengumpat diri sendiri karena ‘penyakit’ ini.
Tak lama, Gani meringis. “Serius amat,
sih. Hehehe. Ya, kalau lagi suntuk di rumah, suka tiba-tiba pengen kesini.”
“Dari kantor?” lanjutnya.
Setahuku, Gani lebih tua tiga tahun
dariku, tapi pembawaan dan kepribadiannya seperti dua tahun lebih muda dariku.
Kalau tidak salah, saat ini dia bekerja
di sebuah perusahaan Advertising. Sebatas itu saja informasi yang pernah aku
curi dengar tentangnya, jadi untuk sementara jangan bertanya lebih padaku.
“Hehehe,” aku garuk-garuk kepala, “Iya,
tadi di jalan ketemu kakek-nenek, terus disuruh mampir. Emang baru kali ini,
sih, main-main kesini. Nyaman juga, pantes kamu betah.”
Begitu saja kami berdua bertukar cerita.
Topik utamanya tentu saja si empunya rumah. Tentang Kakek Suryo dan keluarganya
yang sangat terbuka pada siapapun tamu dan tetangga yang datang. Tentang
kehangatan pribadi keduanya yang entah bagaimana cepat meradar ke hati kami.
“Hayo, lagi ngomongi apa?” Kakek Suryo datang
dari arah tangga dan menuju sofa yang kami duduki, “Maaf, ya, tamunya jadi
ditinggal-tinggal begini.”
“Ini, nih, Alin dari tadi muji
kakek-nenek terus,” jawab Gani sumringah, “Padahal Saya, kan, mau juga dipuji,
ya, Kek?” lanjutnya seraya tertawa.
“Hehe iya, Saya salut sama kakek-nenek,
udah berumur tapi masih suka berinteraksi dengan sekeliling. TOP deh!” kataku
seraya mengacungi jempol, “Saya sering-sering main kemari boleh, ya, Kek?”
Semakin umur bertambah, semakin canggung
rasanya untuk keluar rumah dan berinteraksi dengan tetangga-tetangga. Padatnya
aktivitas menjadi alasan paling klise-tapi-ampuh untuk absen dari acara-acara
silaturahmi antartetangga. Tapi saat ini sepertinya aku punya alasan untuk
tidak absen lagi.
“Tentu saja, boleh. Masa nggak? Hahaha.
Justru bagus, biar rumah Kakek tambah rame,” jawab Kakek Suryo terkikik.
Tak lama berselang, aku pamit pulang.
Hari sudah gelap dan aku bahkan belum pulang ke rumah, terlalu asyik mengobrol
di rumah Kakek Suryo.
“Saya pulang juga, deh, kalau gitu,”
kata Gani menyusul bangkit dari sofa. “Kakek-nenek istirahat, ya. Jangan lupa
dihabisin bolunya. Kalau mau lagi, bilang aja sama Saya nanti Saya minta Mama
buatin lagi spesial untuk kakek-nenek,” ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata
dan menepuk dada pelan.
Aku merasa Gani ada kemiripan dengan
Kakek Suryo. Dari kesan yang aku dapat hari ini terhadapnya, dia memiliki
kepribadian yang tak kalah hangat. Menyenangkan sekali rasanya bertemu dengan
orang-orang berhati hangat, jadi ingin selalu dekat.
“Padahal kita rumahnya sebelahan, tetanggaan,
tapi nggak pernah ngobrol begini rasanya,” celetuk Gani di jalan saat aku hampir
tiba di depan rumahku.
“Dan belum tentu akan bisa ngobrol
begini kalau nggak ketemu di rumah Kakek Suryo. Hahaha,” timpalku.
“Benar juga, ya. Hahaha.” Kami berdua
tertawa kecil. “Ya udah, masuk, gih. Lain kali, jangan canggung lagi, ya,” ujar
Gani sambil tersenyum.