Guru Privat Pasha


Gue inget, awal tahun tadi gue sempat jadi guru privat selama dua bulan. Yap, guru privat! Nggak percaya? Sama, sampai sekarang pun gue masih nggak percaya pernah mencatat sejarah menjadi guru privat.
Waktu itu, Minggu 4 Januari 2015 sekitar pukul sebelas siang gue dihubungi oleh Kak Juju. Dia nawarin gue untuk jadi guru privat anak SD. Kayak ditodong, gue harus ngasih keputusannya saat itu juga karena Mbak Rizki (teman Kak Juju yang juga menangani jasa privat tersebut) mau mendatangi rumah calon klien siang itu juga.
Gue bingunglah. Nggak suka anak kecil, nggak punya pengalaman, mau diajarin apa anak orang?
“Datang dulu aja, biar ketemu sama mama dan anaknya. Nego disana,” kata Kak Juju.
Ya, dari penjelasan Kak Juju, gue pikir gue masih bisa menolak tawaran kalau-kalau nanti pas disana gue merasa nggak srek. Tapi gue salah, gue kejebak sama asumsi yang gue buat sendiri. Ternyata, dengan setujunya gue untuk datang kesana, itu artinya gue juga mau nggak mau setuju untuk jadi guru privat. Dapat dilihat begitu gue datang, gue langsung disuruh ngajar saat itu juga, tanpa persiapan apapun, tanpa kemampuan apapun.
Begitu datang ke rumahnya sekitar pukul setengah dua siang, mamanya masih di jalan abis kondangan. Untungnya, si anak nggak ikut kondangan. Dia ada di rumah. Jadi, dipanggillah si anak ini untuk ketemu dan kenalan sama gue. Anaknya cowok, putih, ganteng. Untung masih kecil, kalau udah gede takutnya nanti gue malah suka. Hehehe nggak, ding, becanda.
Dia berlari kecil mendekati gue. I didn’t see something wrong with him sampai akhirnya dia memperkenalkan diri.
“Siapa namanya?” tanya gue berusaha seramah mungkin.
“Pasha.”
Gue membeku sepersekian detik. Dia menyebutkan namanya dengan lafal acha. Dia udah kelas 2 SD, umur delapan tahun, tapi ngomongnya belum lancar dan sedikit cadel.
Jujur saat itu, gue menebak-nebak apa yang terjadi sama anak ini. Setelah ngajak ngobrol satu-dua menit, gue sadar kalau masalahnya bukan cuma disitu. Gue nggak mau menceritakan detilnya, yang jelas dia beda dari teman-teman seumurannya.
Tiga jam gue berusaha untuk menjadi seorang guru dan kakak bagi Pasha. Hari itu gue masih ditemani oleh Mbak Rizki, sekaligus diberi arahan untuk proses mengajar ke depannya. As expect, gue kagoknya setengah mati. Nggak tau harus mulai darimana, nggak tau gimana ngatasin kebosenan si anak, nggak tau mesti ngapain waktu anaknya stres karena materi yang dikasih melebihi kapasitasnya.
Saat itu, perasaan gue campur aduk. Tanggung jawab bertambah, beban bertambah. Di satu sisi gue ragu, di sisi lain gue tersentuh. Sejak awal gue ketemu sama Pasha, ada rasa sayang yang tiba-tiba muncul. Gue kayak tergerak untuk melakukan sesuatu buat dia. Gue merasa harus mengambil pekerjaan ini karena gue pengen ketemu lagi sama dia dan mengajarkan lebih banyak hal. Gue pengen jadi bagian dari perkembangan dia. Pokoknya, hal-hal semacam itulah yang bikin gue optimis untuk tetap melanjutkan pekerjaan itu.
Mamanya baik. Anaknya nyenengin. Selama dua bulan itu, gue happy banget. Gue sadar gue memang belum maksimal mengajar. Gue masih suka main hape waktu ngajar, suka ngantuk sendiri, suka pengen cepet pulang, dan masih suka nggak sabaran juga. Tapi, gue bahagia karena dari Pasha, gue belajar banyak hal.
Jadi guru itu nggak mudah, guys. Apalagi untuk ngajarin anak kecil, dimana kita harus ngajarin mereka dari nol. Kita juga harus menanamkan nilai-nilai yang baik pada mereka.
Terkhusus untuk Pasha, gue benar-benar jatuh hati. Dia mungkin punya kekurangan, tapi bagi gue, dia spesial. Dia bikin gue merasa lebih hidup. Dia menumbuhkan rasa empati gue.
Gue nggak tau persis apa salah atau kekurangan gue hingga akhirnya mama Pasha memutuskan untuk menyudahi privat ini. Hanya saja, terkadang gue menyayangkan betapa dua bulan itu terlalu singkat. Gue masih pengen ketemu sama Pasha. Belajar bareng, main bareng, makan bareng, nyanyi bareng. Ah, I miss you, Pasha!