Berbeda Bersama



Kita pertama bertemu di depan sebuah ruko yang tertutup rapat. Hujan mempertemukan kita disana. Kamu menatapku berlarian ke arahmu, dengan seluruh yang kupakai lepek karena kuyup. Kamu mengulum senyum, menahan tawa. Aku memicing, sedikit tersinggung.


Aku berdiri canggung di sebelahmu, berulang kali menggosok lengan karena dingin dan sedikit salah tingkah.

"Mau pakai punyaku dulu?" Suaramu pertama kali memecah hening diantara kita, seraya menyodorkan jaket yang entah sejak kapan kamu lepas dari bahumu.


"Ah, nggak. Terima kasih."

"Hujannya masih lama, loh."
Aku mengernyit. Kamu, kan, bertanya, lalu kenapa jadi memaksa.
"Iya, nggak apa-apa."
"Astaga, nggak ada maksud apa-apa kok. Beneran, deh. Cuma mau kasih pinjam aja, sumpah."
Aku tertawa juga akhirnya: kamu merasa dicurigai, ya?
Karena tidak enak pada niat baikmu, aku mengambil jaket itu dari tanganmu lalu memakainya.



Kemudian, begitu saja obrolan mengalir di tengah bisingnya hujan. Hujan telah berganti pelangi, kita belum juga selesai pada kalimat terakhir. Aku dan kamu, sama-sama baru bagi satu sama lain. Masih banyak cerita yang belum dibagi. Aku maupun kamu, masih ingin berlama-lama. Jadilah, berujung seperti ini. "Besok-besok ngobrol-ngobrol lagi, yuk! Punya line? Nanti berkabar lagi. Jaketnya, pakai aja dulu."



Sore itu, hujan terindah yang pernah kudatangi. Aku tidak pernah berpikir semudah itu merasa nyaman, apalagi pada orang asing sepertimu.



Hari ini kita bertemu lagi di suatu coffee shop. Kamu masih semenyenangkan terakhir kita bertemu. Kita mengobrol lebih banyak, makin banyak. Sampai pada bahasan yang sangat pribadi, akhirnya aku tahu, ada yang berbeda diantara kita:



Aku masih sendiri, kamu telah berdua.



Aku tersenyum kecut. Seperti katamu di kala hujan sore itu, kamu tidak ada maksud apa-apa. Kamu memang jujur dan apa adanya, salahku karena nyaman pada kebersamaan kita yang berbeda. Salahku menjadi terlalu perasa di awal pertemuan.



Aku menghabiskan hari bersamamu dengan mencoba tenang dan sebiasa mungkin. Hingga hari hampir berganti, kita baru berhenti. Aku pamit, dan tak lupa mengembalikan jaketmu. Aku kembalikan harapan yang bukan punyaku.

0 komentar: