Bukan Mak Comblang


Gue kesal. Lagi-lagi gue harus merasakan kebosanan yang sama tiap harinya. Nggak ada yang berubah dari rutinitas gue. Aktivitas standar yang biasa dilakukan anak sekolahan lainnya. Namun, sebenarnya satu hal yang paling bikin gue kesal adalah kenyataan bahwa status kejombloan gue tetap dalam level yang sama. Sampai saat ini, belum ada juga cowok yang mau mendekati gue. Level gue belum naik tingkat—sebagai PDKT-ers—sedikitpun.
“Win, akhirnya gue jadian sama dia. Uh, akhirnya…”
“Eh, tadi gue lihat di twitter-nya dia, dia udah jadian loh sama adik kelas yang juara umum itu.”
Perlahan, semakin banyak orang jadian di muka bumi ini. Teman-teman gue mulai mengakhiri masa kejombloannya, tetapi gue tetap nggak berkutik. Gebetan aja nggak punya, apa lagi mau jadian kayak gitu. Mahkota jomblo kayaknya masih betah nangkring di kepala gue. Gue nggak mengerti apa yang salah dari sikap gue ke cowok-cowok selama ini.
Gue masih mencari-cari alasan—yang mungkin bisa gue terima—di balik kejombloan gue yang nggak pernah berakhir ini ketika hp gue berbunyi. Iya, akhirnya hp gue berbunyi. Semoga aja bukan provider yang entah kenapa rajin banget mengingatkan gue untuk mengisi pulsa, bukan juga orang nyasar yang minta transfer uang ke rekening.
Doa gue terkabul. Emang bukan provider atau orang nyasar minta kirimin uang, melainkan teman gue di kelas sebelah yang entah kenapa sering banget sms gue belakangan ini. Namanya Agung. Iya sih, gue bisa sedikit kegirangan karena paling nggak yang sms gue itu cowok. Tapi…
Gue td liat Sinta pulang sklh. Tp kok ga bareng sm lo, ya? Ya biasanya kan lo bareng dia mulu. Hehehe.
Tapi bete juga kan kalo ternyata dia itu bukan perlu sama lo-nya. Dia cuma mau nanyain kabar Sinta lewat gue. Nggak jadi deh gue girangnya.
Oh, itu tadi dia ada les gitu. Ada apa?
Gue ogah-ogahan membalas sms Agung.
Lo ga les jg? Ga kenapa2 kok, mau tanya2 doang. Hehehe, ga boleh ya?
Sejujurnya sih nggak boleh banget. Kenapa nggak tanya orangnya langsung aja? Bikin mood gue ancur aja sih. Tapi mau gimana lagi, reputasi gue sedang dipertaruhkan disini. Kalau gue putus sms-nya, nanti gue disangka sombong, deh. Udah jomblo, dicap sombong pula. Hiiii
Gue les di bimbel lain, Gung. Iya, gpp sih.
Akhirnya gue dan Agung sms-an sampai larut malam. Dengan agak terpaksa gue meladeni sms dia demi reputasi yang sedang gue perjuangkan. Jujur aja, gue paling nggak bisa tidur larut, tapi malam ini adalah pengecualian. Gue heran, ya, sama cowok-cowok, kalau lagi suka sama cewek, kenapa sih lebih suka nanya-nanya ke temannya daripada nanya langsung? Cemen banget!
Besoknya, di sekolah. Nggak ngerti kebetulan macam apa ini, tiba-tiba aja gue yang lagi jalan menuju gedung sekolah menemukan Agung yang sedang memarkir motor di parkiran. Emang harus gitu kali, ya, kalo kemarinnya ada ngobrol bareng atau sms-an atau apa, pasti besoknya ada aja momen ketemuan yang bikin canggung. Gue suka grogi nih kalau terkepung situasi kayak gini. Gue cuma berdoa supaya dia nggak melihat gue.
“Hei, Win! Baru dateng juga?”
Mati gue! Kenapa harus nyapa gue, sih? Gue merasa kakinya menyamakan langkah gue. Mencoba biasa aja, gue menolah ke arah Agung dengan melempar senyum semanis mungkin. Wajahnya yang ramah langsung nodong gue secara nggak manusiawi. Muka lo nggak usah sok manis gitu bisa kali! “Hah? Oh, iya nih,” jawab gue gelagapan.
“Tumben. Gara-gara gue sms semalem, ya?”
Tumben? Sok tau banget sih nih cowok. “Nggaklah, ge-er deh.”
“Emangnya gue cewek, yang gampang kege-eran?” Agung terkikik dengan bola mata yang melirik ke arah gue.
“Dih, norak tau! Hahaha.” Gue mendongak dan seketika gue bisa kembali melihat wajah Agung yang benar-benar bersahabat pagi ini. Dia senyum ke gue. Nggak berapa lama, tau-tau aja gue udah berada di depan kelas bersama Agung di sebelah gue.
“Duluan, ya!” gue pamit. Dia hanya mengangguk sebagai isyarat.
Gue masuk ke dalam kelas dan mendapati Sinta mengangguk pelan seraya tersenyum di bangkunya. Gue menoleh ke belakang, “Oh, Agung,” gue melihat Agung melambaikan tangannya kepada Sinta sambil tersenyum, “Dia nanyain lo, tuh!”
“Oh ya?” Sinta antusias.
Gue mengangguk, “Yap!”
Hari-hari berikutnya, hidup gue sedikit berubah. Bukan, bukan karena status jomblo gue udah berganti dengan status berpacaran. Gue tetap pada mahkota kejombloan gue, tapi dengan sedikit peningkatan. Peningkatannya adalah gue sekarang menjadi teman curhatnya Agung. Gue dan Agung resmi menjadi teman—entah sejak kapan. Tiap hari dia sms gue. Dan bisa ditebak, Sinta-lah yang menjadi alasan kedekatan kami. Gue bukannya nggak senang melihat Sinta disukai sama cowok, tapi gue kesal kenapa si cowok harus menjadikan gue sebagai Mak Comblang. Gue aja jomblo, masa iya gue harus nyomblangin orang lain?
“Lo beda, ya, sama Sinta. Kalo Sinta orangnya ceria, lucu gitu. Sedangkan lo, sorry nih kalo gue salah, tapi kayaknya lo cenderung cuek, ya? Hehehe. Tapi keren, kok, gue suka cewek cuek-cuek kayak lo gini, nggak gampangan,” ceplos Agung ketika dia minta temani gue ke toko buku.
Gue harus jawab apa coba? Gue aja nggak bisa bedain, dia lagi muji apa lagi nyindir. Dibanding-bandingin tuh emang nggak enak. Kalau udah gitu, gue cuma bisa membalas dengan jurus “hehehe” yang gue punya.
 “Kenapa nggak lo tembak aja?” Semakin kesini, gue melihat Agung semakin akrab sama Sinta. Seharusnya sih Agung udah bisa melancarkan aksinya untuk nembak. Gue nggak tahu pertimbangan apa yang udah bikin dia selabil ini untuk mengambil keputusan.
“Gue belum tau alasan kenapa gue harus nembak dia,” jawab Agung sambil menonton pertandingan basket yang diadakan di sekolah gue. Gue dan Agung berada di depan kelas gue, duduk di bangku yang sengaja gue tarik keluar dari dalam kelas. Sinta tampil sebagai anggota cheerleader yang sedang melaksanakan tugasnya untuk menyemangati anak-anak basket yang sedang bertanding. Sesekali Sinta menoleh ke arah kami.
“Emangnya kalo suka sama orang harus pake alasan, ya? Nggak, kan?” suara gue mencoba membelah riuhnya pendukung masing-masing sekolah.
“Iya. Tapi gue sukanya sama lo.”
Gue mengerutkan alis, “Hahahaha! Gue bukan cewek-cewek yang gampang kege-eran kayak yang lo bilang. Jadi, sorry aja nih, nggak mempan.”
“Tuh kan, gue yakin lo pasti nggak percaya deh. Gue beneran. Gue serius suka sama lo.”
Gue diam. Gue melihat melalui ekor mata gue, Agung mengalihkan pandangannya ke gue. Pelan-pelan gue menghadap Agung yang masih terus memandangi gue. Gue tahu gue lagi nggak nonton ftv. Ini nyata, gue nggak lagi mimpi.
“Lo suka sama gue?” tanya gue untuk memastikan, “Terus, Sinta?”
“Itu, kan, lo yang bikin kesimpulan sendiri. Gue nggak punya alasan kenapa gue harus nembak Sinta. Karena dari awal, gue sukanya sama lo.”
“Hah?”
 Ini sebenarnya gue yang bego apa gimana sih? Agung suka sama gue. Dia nggak suka sama Sinta. Terus, gue suka sama siapa? Nasib Sinta gimana?
“Iya, gue suka sama lo.”
“Oh iya iya, gue ngerti sekarang.”
“Terus?”
“Apa?”
“Ah, lo mah.”
“Apaan?”
“Katanya udah ngerti, terus kenapa masih nanya?”
“Beneran deh, Gung. Maksudnya apa? Terus apa?”
Oke, ini di luar ekspektasi gue. Mana kepikiran di otak gue kalau Agung sukanya sama gue. Gue nggak merasa dia caper ke gue. Lagian, selama ini dia, kan, dekat sama Sinta. Kok bisa suka sama gue, sih?
Asli, gue beneran nggak jago soal beginian.
“Gue suka sama lo, terus lo-nya gimana ke gue?” Agung kedengarannya mencoba sabar banget menghadapi gue yang lemotnya kambuh kayak gini.
“Ya, nggak gimana-gimana. Dari awal gue mikirnya lo suka sama Sinta, mana tau lo suka sama gue.”
“Iya, terus sekarang, kan, udah tau.”
“Iya, tapi gue nggak mungkin langsung tiba-tiba suka sama lo juga, kan?”
Agung diam, nggak membalas ucapan gue lagi. Apa ada yang salah dari kata-kata gue?
“Hmm, ya, bener, sih, yang lo bilang,” setelah beberapa saat Agung kembali bersuara.
Duh, salah ngomong, nih, kayaknya. “Duh, Gung, gimana, ya, susah gue bilangnya. Maksud gue, untuk saat ini, ya, gue belum ada perasaan apa-apa ke lo. Selama ini gue nggak pernah berharap lebih ke lo. Ya, gue realistis aja, yang gue lihat lo dateng ke gue karena Sinta.”
Belum pacaran aja, kok, udah ribet gini urusannya, ya?
“Mau kasih gue kesempatan?”
Gue makin bingung. “Sinta?”
“Ya ampun! Lo ini nggak paham juga, ya? Sumpah, lo nggak peka banget, sih, jadi cewek!” Agung geleng-geleng kepala seraya mengacak-acak rambut gue. “Gue deketin dia biar bisa cari-cari tahu tentang lo, bukan sebaliknya. Dia tau, kok, gue suka sama lo.”
“Oh…” Ternyata gue se-nggak-peka itu, ya. Gue baru paham sekarang.
“Terus? Apa lagi yang masih bikin lo bingung? Pertanyaan gue belum dijawab, nih!”
Kalau posisinya kayak gini, gue harus jawab apa, ya? Ya Tuhan, kenapa gue bego banget soal beginian?!
“Pertanyaan yang mana lagi?!”
Agung membelalak nggak percaya, “Astaga, lo ini. Kenapa gue bisa suka sama lo, sih?!” Ya, mana gue tahu. “Kasih gue kesempatan, ya? Biar lo juga bisa suka sama gue.”
Sebelumnya gue belum pernah pacaran. Bahkan, kayaknya belum ada juga yang terang-terangan deketin gue atau bilang suka ke gue. Ini pertama kalinya, dan ternyata menyenangkan juga, ya, tahu ada yang suka sama gue.
“Ya, pastilah! Nggak ada alasan juga untuk nggak kasih lo kesempatan.”
Agung tersenyum lebar, lalu kembali mengacak-acak rambut gue.

0 komentar: