Timbangan Miring


Aku paling setia pada diriku sendiri. Seumur hidup ini hanya dia saja cintaku, yang paling mengerti aku dan tidak pernah meninggalkanku sendirian. Dia menjadi yang pertama tahu kesedihanku, mengulurkan tangan dan meminjamkan pundak untukku. Dia menjadi yang paling bahagia melihatku bahagia. Orang lain tidak tahu, banyak hal romantis telah kami lakukan bersama.


Makin banyak jejak yang kutapaki, makin aku bingung. Mengapa orang lain berdua? Mengapa mereka bersama orang lain? Aku juga punya cinta, tapi tidak ada yang lain di sampingku. Apa diri mereka tidak mencintai mereka? Apa aku terlalu setia pada diriku sendiri?



Kesetiaanku diuji. Karena penasaran, aku berniat berkhianat. Aku mendekati orang lain, mencoba memasuki kehidupannya dan berusaha keras berpaling dari diriku. Tidak pernah berhasil. Ada saja celanya. Makin banyak lagi pertanyaan di kepalaku. Kenapa mereka bisa dan aku tidak? Apa ada yang salah dari caraku? Aku mengkajinya hari demi hari, curi pandang dan dengar tentang pengalaman mereka, kubandingkan dengan punyaku.



Setelah berwaktu-waktu menganalisis, aku akhirnya mengerti. Tidak adil jika menuntut orang lain datang padahal hati masih sungkan. Kesetiaanku tidak salah. Mereka juga tidak. Aku ingin punya cinta orang lain juga, dan itu bukan khianat. Aku ingin punya cinta orang lain juga, tapi belum saatnya. Aku masih ingin bersenang-senang dengan diriku, sebelum nanti aku akan mengesampingkannya untuk orang lain. Diriku sangat spesial bagiku, dia terlalu baik. Dia tidak pernah mengecewakan, karena itulah aku bangga menjadi cintanya. Aku tak tega membagi cintaku cepat-cepat, menyakitinya seperti sedang dihukum saja.

0 komentar: