Buat Apa Sekolah?


Saya, 24 tahun, seorang ibu bergelar magister.



"Lulusan S-2, kok, kerjaannya cuma urus anak."
"Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya masih di rumah juga."

Saya belajar dan sekolah tinggi-tinggi, mulanya untuk dirinya sendiri, berambisi untuk mencapai karir bagus di usia muda. Banyak mimpi yang dirangkainya tiap malam, tentang akan menjadi seperti apa Saya di masa depan. Satu tahun ke depan, tiga tahun, lima tahun, sepuluh tahun... Sudah direncanakannya masak-masak. Melanjutkan studi S-2 juga demikian. Saat itu Saya berpikir, gelar itu akan melicinkan jalan mimpinya. Dia telah meraih itu dengan kerja keras, menapaki satu demi satu anak tangga tepat sasaran.

Kemudian jalan mimpi Saya sedikit bergeser saat jodohnya datang terlalu cepat dari perkiraannya. Tentang jodoh ini, sudah Saya selipkan juga pada salah satu rangkaian mimpinya. Karena itu bagian dari mimpinya, Saya meyakini bahwa mimpi yang datang lebih cepat merupakan pertanda yang baik. "Tidak masalah. Setelah ini, aku akan menyusun kembali jalur mimpiku dan mewujudkannya sesuai waktu yang sudah kurencanakan dulu."

Menariknya, pertanda baik itu datang dengan perspektif baru dan sedikit berbeda. Ambisi Saya luntur digantikan dengan keinginan mulia. Tentang keluarga kecilnya, tentang buah hatinya. Pada akhirnya, Saya memilih berkarir sebagai seorang ibu. Saya melepas segala mimpi dan ambisi yang dirajut bertahun-tahun dengan mengecewakan orang tua dan beberapa orang terdekatnya. Saya bahkan sudah menebalkan kuping agar tak makan hati mendengar nyinyiran orang-orang.

Apakah kamu tahu apa yang dipikirkan Saya ketika memutuskan untuk memilih menjadi ibu full time bagi anaknya dengan mengesampingkan gelar yang sudah diusahakannya bertahun-tahun? Percayalah... Saya telah melalui banyak dilema bermalam-malam. Saya mengambil keputusan setelah berulang kali menahan kepalanya agar tidak meledak. Saya bahkan hampir bosan mengonfirmasi Tuhan di tiap doa, apakah benar itu jawaban dari pertanyaannya.

Suatu hari, ada lagi yang mencibir Saya. Dengan tegas Saya menjawab, "Jangan hakimi aku karena menjadi ibu berilmu, lebih baik bercermin mengapa kamu tidak."


0 komentar: